Tekno Solution

Tekno Solution

Kamis, 30 Juni 2011

ASKEP HIDROSEFALUS/HIDROCEFALUS

BAB I

PENDAHULUAN


Dalam artian umum anak adalah calon pewaris, penerus dan calon pengemban pembangunan bangsa. Secara dramatis dapat dikatakan bahwa anak adalah modal sosio ekonomi suatu bangsa dalam artian individual, anak bagi orang tuanya mempunyai suatu nilai yang penting pula.
Tahun-tahun pertama kehidupan merupakan periode penting dan kritis : tumbuh kembang fisik, mental, psikososial berjalan dengan cepatnya, sehingga dapat dikatakan bahwa keberhasilan tahun pertama untuk sebagian besar menentukan masa depan anak. Kelainan atau penyimpangan apabila tidak di intervensi secara dini dengan baik apalagi jika tidak terdeteksi secara nyata akan mengakibatkan berbagai hal yang buruk dan berdampak fatal, sehingga akan mengurangi kualitas sumber daya manusianya kelak dikemudian hari.
Hydrochepalus merupakan kelainan/penyimpangan yang dapat bersifat congenital, baik primer maupun sekunder yang didapat dari penyakit lain dimana kelainan ini akan mempengaruhi proses tumbuh kembang anak selanjutnya (bio-psiko-sosio-spiritual).
Pengetahuan dan penatalaksanaan hydrochepalus yang baik akan mengurangi dan mencegah terjadinya penyimpangan/kelainan dalam proses tumbuh kembang yang optimal sehingga akan meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas seoptimal mungkin, akan coba kami bahas dalam penyajian materi pada makalah berikut ini.
BAB II

                 TINJAUAN KASUS


A.    Pengertian Hidrosefalus
Hidrosefalus adalah penumpukan cairan cerebrospiral secara aktif yang menyebabkan dilates sistem ventrikel otak akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absurlsi CSF (Swaiman : 1981).
Pengertian Hidrosefalus tergantung dua pengertian pokok, yaitu :
a.       Kelebihan CSS
b.      Peningkatan Tekanan Intrakronial (TIK)
B.     Anatomi dan Fisiologi
1.      Sistem Cairan Seregrospinal
Seluruh ruangan yg melingkungi otak dan anedulla spinalis mempunyai volume kira-kira 1.650 ml, dan kira-kira 150 ml dari volume ini ditempati oleh cairan serebrospinal. Cairan ini ditemukan dalam ventrikel otak, di dalam sisterna-sisterna sekitar otak, da, didalam ruang sub arakhnoid sekitar otak dan medulla spinalis. Semua ruang ini saling berhubungan dan tekanan cairan tersebut diatur pada suatu tingkat yg konstan.
2.      Pembentukan LCS
Normal LCS diproduksi ± 0,35 ml/menit atau 500 ml/hari, dengan demikian LCS diperbaharui setiap 8 jam.
Pada anak dengan Hidrosefalus produksi LCS ternyata berkurang ± 0.30 ml/menit.
LCS dibentuk oleh :
a)      Plexus Choroideus, yang merupakan bagian yang terbesar didalam ventrikel.
b)      Parenchyma otak.
c)      Arachnoid.
Pembentukan cairan serebrosfinal oleh plexus choroideus, merupakan suatu pertumbuhan pembuluh darah seperti blumkol yang dilapisi oleh selapis tipis sel-sel epitel. Plexus ini menjorok kedalam; -Kornu temporal ventri kelateral, -bagian posterior ventrikel ke-3, -atap ventrike ke-4.
Cairan serebrospinal terus keluar dari permukaan plexus choroideus, cairan ini tidak tepat sama atau cairan extra sel lainnya. Malahan konsentrasi natriumnya 7% lebih tinggi daripada konsentrasi didalam extra sel. Konsentrasi glukosa lebih rendah dan konsentrasi kalium 40% lebih rendah. Maka jelas bahwa cairan dari plexus choroideus tersebut bukan merupakan suatu filtrasi kapiler tetapi merupakan suatu sekresi choroideus.
3.      Mekanisme Sekresi Cairan SP oleh Plexus Choroideus
Sel-sel epitel kuboit plexus choroideus secara aktif mensekresikan ion natrium yang menimbulkan suatu muatan positif didalam cairan seperti tersebut. Ini sebalkiknya menarik ion-ion bermuatan negative, terutama ion chloride, juga didalam serebrospinal tersebut, jadi timbul kelebuihan ion didalam cairan ventrikel, sebagai akibatnya tekanan osmotic cairan meningkat menjadi kira-kira 160 mmHg lebih tinggi daripada didalam plasma, dan kekutan osmotic ini menyebabkan sejumlah air dan zat terlarut lain bergraf melalui membrane choroideus kedalam cairan seperti tersebut. Karena difusi glukosa tidak semudah glukosa air, konsentrasi tetap agak rendah. Rendahnya konsentrasi kalium mungkin disebabkan oleh transport kalium dalam arah berlawanan melalui sel-sel epitel tersebut. Dasar utama untuk teori osmotic ini adalah konsentrasi zat-zat yang aktif secara osmotic didalam cairan serebrospinal 9 miliosmol lebih besar daripada yang didalam plasma. Perbedaan ini menimbulkan kekuatan osmotic sebesar 160 mmHg seperti dijelaskan diatas kecepatan sekresi choroideus ditaksir kira-kira 840 ml/hari, 5 – 6 kali jumlah total volume cairan didalam seluruh ruang cerebrospinal.
Difusi kedalam cairan cerebrospinal melalui permukaan meningen dan ependim. Permukaan ventrikel dilapisi oleh suatu epitel koboit tipis yang disebut hependima dan cairan cerebrospinal tersebut bersentuhan dalam permukaan ini pada semua tempat. Disamping itu cairan cerebrospinal mengisi ruang subaraktinoid diantara piameter yang melapisi otak dan membrane araknoid oleh karena itu cairan cerebrospinal berhubungan dengan daerah permukaan epenbrima dan meningen yang luas dan terjadi difusi terus-menerus diantara cairan cerebrospinal dan substansi otak dibawah ependima dan juga diantara cairan cerebrospinal dan pembuluh darah meningen, terutama pembuluh-pembuluh darah araknoid. Beberapa zat berdifusi melalui membrane ini dengan sangat cepat tetapi zat lain berdifusi dengan jelek.
Ruangan penvaskuler dan cairan cerebrospinal. Pembuluh darah yang memasuki substansi otak pertama berjalan sepanjang permukaan otak dan kemudian menembus kedalam, dan membawa satu lapis piameter bersama mereka. Lapisan piameter hanya melekat dengan longgar ke pembuluh tersebut sehingga terjadi suatu ruangan, ruang perivaskuler diantara pia dan pembuluh darah. Ruang penvaskuler mengikuti arteri dan vena kedalam otak sampai sejauh arteriol dan venula, tetapi tidak sampai ke kapiler.
Fungsi ruang perivaskuler sebagai pembuluh limfe. Sama halnya ditempat lain dalam tubuh, sejumlah kecil protein keluar dari kapiler parenkim dan masuk kedalam ruang interstisial otak, dan tidak ada pembuluh limfe sejati didalam otak, protein ini meninggalkan jaringan tersebut, terutama melalui ruangan perivaskuler tetapi sebagian juga dengan difusi langsung melalui piameter kedalam ruang subaraknoid. Setelah mencapai ruang subaraknoid, protein  tersebut mengalir bersama cairan cerebrospinal untuk diabsosi melalui vilus araknoid kedalam vena cerebral. Oleh karena itu ruang perivaskuler sebenarnya merupakan suatu modifikasi sistem limfe untuk otak. Disamping menyalurkan cairan dan protein ruang perivaskuler juga menyalurkan vartikel asing dari otak kedalam ruang subaraknoid misalnya bilamana terjadi infeksi dalam otak sel-sel darah putih yang mati dikeluarkan melalui ruang perivaskulker tersebut.
4.      Komposisi Cairan Serebrospinal
a.       Protein       : 2 – 25 mg/100 ml                  20 – 45 gl
b.      Glukosa     : 50 – 85 mg/100 ml                2,2 – 3,4 mmol/l
c.       Khloride    : 120 – 140 meg/l                    120 – 130 mmol/l
d.      Volume     : 120 – 140 ml            
e.       Tekanan     : 70 – 160 mm air
  
5.      Absorbsi Cairan Cerebrospinal – Villous Arachnoids
Hampir semua cairan cerebrospinal yang dibentuk setiap hari direabsorbsi kedalam darah melalui struktur-struktur khusus yang disebut vilus araknoid atau granulasi yang menjorok dari ruang sub araknoid kedalam sinus pinusus otak dan jarang-jarang kedalam vena kanalis spinalis. Vilus araknoid tersebut merupakan trabekula araknoid yang menonjol melalui dinding vena, sehingga menimbulkan daerah yang sangat permiabel yang memungkinkan aliran cairan cerebrospinal yang relative bebas juga molekul protein, dan bahkan partikel-partikel kecil dan ukurannya kurang dari 1 mm ) kedalam darah.
6.      Sirkulasi Cairan Cerebrospinal
Melalui pemeriksaan radio isotop, ternyata LCS mengalir dari tempat pembentukannya ketempat absorbsinya. LCS mengalir dari kedua ventrikel lateralis melalui sepasang foramen Mondro kedalam ventrikel III, dari sini melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV. Melalui satu pasang foramen luschka LCS mengalir keluar rongga sub arahnoid di sekitar batang otak menuju Cisterna Cerebello Pontine dan Cisterna Propentis. Cairan yang keluar melalui foramen Magendia menuju ke Cisterna Magna. Dari sini mengalir ke superior dalam rongga sub arahnoid ke dua Hemisphere Cerebellum ke Caudal menuju rongga Sub Arahnoid Spinalis dan ke Cranial menuju Cistema Infra tentorial. Melalui Cistema Basalis , LCS akan dialirkan ke seluruh Cistema di supratentorial dan kedua hemisphere cortex cerebri.
Sirkulasi berakhir di Sinus Doramatis : dimana terjadi absorbsi melalui Villi Arahnidialis, yang berhubungan dengan sistem vena seperti : Venusus Cerebral.
7.      Fungsi Cairan Cerebrospinal
Fungsi utama cairan cerebrospinal melindungi otak dikala kubahnya yang padat. Bila tidak ada fungsi ini, pukulan apapun di kepala akan menyebabkan otak berputar dan rusak hebat. Meskipun demikian otak dan cairan cerebrospinal tersebut mempunyai berat jenis yang kira-kira sama sehingga otak hanya terapung didalam cairan tersebut. Oleh karena itu pukulan pada kepala menggerakkan otak secara serentak, sehingga menyebabkan tidak ada bagian otak yang diubah bentuknya untuk sementara waktu oleh pukulan tersebut. Fungsi cairan cerebrospinal yaitu :
a.       Untuk mempertahankan volume konstan didalam tulang tengkorak dengan meningkatkan atau menurunkan jumlah cairan sesuai dengan kenaikan atau penurunan dari kandungan cranial lainnya.
b.      Untuk bertindak sebagai buffer melindungi otak dari kejutan.
c.       Berfungsi dalam pertukaran nutrient antara plasma dan kompartemen seluler.
C.    Klasifikasi
Klasifikasi hydrocephalus cukup beragam, bergantung pada faktor yang berkaitan dengannya. Berikut ini klasifikasi hydrocephalus yang sering dijumpai diberbagai buku :
1.      Menurut gambaran klinik, dikenal hydrocephalus yang manifest (over hydrocephalus) dan hydrocephalus yang tersembunyi ( occult hydrocephalus). Hidrocephalus yang tampak jelas dengan tanda-tanda klinis yang khas di sebut hydrocephalus yang manifest. Sementara itu, hydrocephalus dengan ukuran kepala yang normal disebut sebagai hydrocephalus yang tersembunyi.
2.      Menurut waktu pembentukan, dikenal hydrocephalus congenital dan hydrocephalus akuisita. Hydrocephalus yang terjadi pada neonatus atau yang berkembang selama intra-uterin disebut hydrocephalus kogenital. Hydrocephalus yang terjadikarena cedera kepala selama proses kelahiran disebut hydrocephalus invantil. Hydrocephalus Akuisita adalah hydrocephalus yang terjadi setelah masa neonatus atau disebabkan oleh faktor-faktor lain setelah masa neonatus.
3.      Menurut proses terbentuknya hydrocephalus, dikenal hydrocephalus akut dan hydrocephalus kronik. Hydrocephalus akut adalah hydrocephalus yang terjadi secara mendadak sebagai akibat obstruksi atau gangguan absosrbsi CSS. Disebut hydrocephalus kronik apabila perkembangan hydrocephalus terjadi setelah aliran CSS mengalami obstruksi beberap minggu.
4.      Menurut  sirkulasi CSS, dikenal hydrocephalus komunikans komunikans dan hydrocephalus non-komunikans berarti CSS sistem ventrikulus tidak berhubungan dengan CSS ruang subaraknoid misalnya yang terjadi bila akuaduktus sylvii, atau foramina luschka dan magendie tersumbat stenosis akuaduktus sylvius pada bayi dan anak yang berumur kurang dari 2 tahun mungkin disebabkan oleh infeksi intrauterine berupa meningoensefalitis virus atau bakteri, anoksia dan perdarahan intracranial akibat cedera perinatal.Hydrocephalus communicants adalah hydrocephalus yang memperlihatkan adanya hubungan antara CSS sistem ventrikulus dan CSS dari ruang subarachnoid; contohnya, terjadi bila penyerapan CSS kedalam villi araknoidalis terhambat. Cara memeriksanya : disuntikan zat warna kedalam ventrikel lateral, kemudian dilakukan pungsi lumbal. Bila ditemukan zat warna dalam pungsi ini, maka berarti ada hubungan antara ventrikel dan ruangan subarachnoid.
5.      Pseudohydrocephalus dan hydrocephalus tekanan normal (normal pressure hydrocephalus). Pseudohydrocephalus adalah disproporsi kepala dan badan bayi. Kepala bayi tumbuh cepat pada bulan kedua sampai bulan kedelapan. Sesudah itu disproporsi nya berkurang dan kemudian menghilang sebelum berunur 3 tahun. Hydrocephalus tekanan normal ditandai oleh pelebararan ventrikulus otak tetapi tekanan CSS dalam batas normal.
D.    Etiologi Dan Faktor Resiko
Adapun sebab dan faktor resikonya, hydrocephalus terjadi sebagai akibat obstruksi, ganbgguan absosrbsi dan kelebihan CSS. Tempat predikelsi obstruksi adalah foramen Monroe, feramen sylvi, foramen luschka, foramen magendie, sinus dural dan vili arachnoid.
Obstruksi CSS disebabkan oleh faktor-faktor intraventrikuler, ekstraventrikuler dan kelainan congenital. Faktor intraventrikuler meliputi stenosis herediter, stenosis gliotik, stenosis akibat perdarahan intraventrikuler, ventrikulitis, oklusi fakomatosis, papiloma pleksus koroid atau neoplasama lain. Obstruksi ini akan menimbulkan hydrocephalus non-komunikans.
Faktor ekstraventrikuler meliputi stenosis traksi atau stenosis kompresiakibat tumor dekat ventrikulus III, tumor di fosa posterior atau tumor serebelum. Faktor-faktor tersebut akan menyebabkan hydrocephalus komunikans maupun non-komunikans.
Kelainan congenital meliputi malformasi Arnold-Chiari, sindrom Dandy-Walker, disgenesis otak, anensefali dan kelainan genetic lainnya yang disertai spina bifida.
Gangguan absosrbsi CSS dapat terjadi sebagai akibat dari  :
1.                       Gangguan vaskuler misalnya trombosis sinus sagitalis superior, maalformasi vena galen, ekstasis dari arteri basilaris, malformasi arterio-venosa dan aneurisma.
2.                        Peningkatan protein CSS pada sindrom Guillain-Barre.
3.                         Otitis media purulenta dan mastoiditis yang menimbulkan hydrocephalus otik.
4.                         Tetrasiklin, estrogen, fenotiazin dan vitamin A, serta penghentian terapi corticosteroid  yang telah berlangsung lama, kelaianan metabolic misalnya defisiensi vitamin B12 dapat pula menimbulkan hydrocephalus, meskipun mekanismenya belum jelas benar, apakah berupa gangguan absorbsi atau justru kelebihan produksi CSS.
5.                       Gagal Jantung, hipoparatiroidi, dan mixedema.
Kelebihan produksi CSS dapat terjadi pada meningitis dan ensefalitis piogenik, tuberculosis, toksoplasmosis, pseudomonas atau adanya kista parasit dan lues congenital. 



E.     Patogenesis
Patogenesis hydrocephalus dapat dibagi menjadi 2 bentuk, ialah sebagai berikut :
1.      Bentuk hydrocephalus akut, didasari oleh faktor mekanik. Perdarahan otak, tumor/ifeksi/abses otak, obliterasi akuaduktus otak, hematoma ekstradural dan edema otak akut akan mengganggu aliran dan absorbsi CSS sehingga terjadi peningkatan TIK. Akibat peningkatan tekanan intraventrikular, sehingga kornu anterior lateral melebar. Kemudian diikuti oleh pelebaran seluruh ventrikulus lateral. Dalam waktu singkat diikuti penipisan lapisan ependim ventrikulus. Hal ini akan menyebabkan permiabilitas ventrikulus meningkat sehingga memungkinkan absorbsi CSS dan akan menimbulkan edema substansia alba didekatnya.pabila kekuatan absosrbsi dapat mengimbangi produksinya yang berlebihan maka tekanannya secara bertahap akan menurun sampai normal, meskipun penderita memperlihatkan gejala-gejala hydrocephalus. Keadaan demikian ini disebut hydrocephalus tekanan normal. Namun biasanya peningkatan absosrbsi ini gagal mengimbangi kapasitas produksinya, sehingga terjadi pelebaran ventrikulus berkelanjutan dengan tekana yang juga tetap meningkat atau terjadi hydrocephalus tekanan tinggi.
2.      Hydrocephalus kronik terjadi beberap minggu setelah aliran CSS mengalami sumbatan atau mengalami gangguan absosrbsi. Apabila sumbatan dapat dikendalikan atau dihilangkan, tekanan intraventrikular menjadi progresif normotensif karena adanya resorbsi transependimal vasa darah parenkim periventrikular. Akibat dari peningkatan tekanan CSS adalah sistem venosa dan penurunan volume aliran darah, sehingga terjadi hipoksia dan perubahan metabolisme parenkim (kehilangan lipid dan protein). Akibat lebih jauh adalah: terjadinya dilatasi ventrikulus karena jaringan periventrikulus menjadi atrofi. Jadi yang semula dasar patogenesisnya mekanik berubah menjadi biokimiawi dan metabolik.



F.    Manifestasi Klinis
1. Secara umum
 Gambaran klinis pada permulaan adalah pembesaran tengkorak yang disusul oleh gangguan neurologik akibat tekanan likuor yang meningkat yang menyebabkan hipotrofi otak. Pada bayi yang suturanya masih terbuka akan terlihat lingkar kepala fronto-osipital yang makin membesar, sutura yang makin membesar dengan fontanel cembung dan tegang. Vena kulit kepala sering terlihat menonjol. Kelainan neurologik berupa mata yang selalu mengarah kebawah (fenomena matahari terbenam), gangguan perkembangan motorik dan gabngguan pengelihatan akibat atrofi atau hipertropi saraf pengelihatan. Bila proses penimbunan cairan serebrospinal dibiarkan berlansung pada bayi akan terjadi penipisan korteks yang permanent walupun kemudian hydrocephalusnya dapat diatasi.
2. Secara Khusus Menurut Umur.
Gambaran klinik hydrocephalus dipengaruhi oleh umur penderita, penyebab dan lokasi obstruksi. Gejala-gejala yang menonjol merupakan refleksi hgipertensi intracranial. Rincian gambaran klinik adalah sebagai berikut  :
Neonatus :
Gejala hydrocephalus yang paling umum dijumpai pada neonatus adalah iritabilitas, sering kali anak tidak mau makan dan minum : kadang-kadang kesadaran menurun kea rah letargi. Anak kadang-kadang muntah, jarang yang bersifat proyektil. Pada masa neonatus ini gejala-gejala lainnya belum nampak, sehingga apabila dijumpai gejala-gejala tersebut diatas, perlu dicurigai kemungkinan adanya hydrocephalus. Dengan demikian dapat dilakukan pemantuan secara teratur dan sistematik.
Anak berumur kurang dari 6 bulan  :
Pada umumnya anak mengeluh nyeri kepala, sebagai suatu manifestasi hipertensi  intracranial. Lokasi nyeri kepala tidak khas atau tidak menentu. Kadang-kadang anak muntah di pagi hari. Dapat disertai keluhan pengelihatan ganda (diplopia) dan jarang diikuti penurunan visus.
Gangguan motorik dan koordinasi dikenali melalui perubahancara berjalan. Hal demikian ini  disebabkan oleh peregangan serabut kortikospinal korteks parietal sebagai akibat pelebaran ventrikulus lateral. Serabut-serabut yang lebih medial yang melayani tungkai akan terlebih dahulu tertekan, sehingga menimbulkan pola berjalan yang khas.
Anak dapat mengalami gangguan dalam hal daya ingat dan proses belajar, terutama dalam tahun pertama sekolah. Apabila dilakukan pemeriksaan psikometrik maka akan terlihat adanya labilitas emosional dan kesulitan dalam hal konseptualisasi.
Pada anak dibawah 6 tahun, termasuk neonatus akan tampak pembesaran kepala karena sutura belum menutup secara sempurna. Pembesaran kepala ini harus dipantau dari waktu ke waktu, dengan mengukur lingkar kepala. Perlu diingat bahwa kepala yang besar (makrosefal) belum tentu disebabkan oleh hydrocephalus; kraniosinostosis dapat menimbulkan makrosefal.
Fontanela anterior tampak menonjol, pada palpasi terasa tegang dan padat. Pemeriksaan fontanela ini harus dalam keadaan yang santai, tenang dan penderita dalam posisi berdiri atau duduk tegak. Tidak ditemukannya fontanela yang menonjol bukan berarti bahwa tidak ada hydrocephalus. Pada umur 1 tahun, fontanela anterior sudah menutup; atau oleh karena rongga tengkorak yang melebar maka tekanan intracranial secara relative akan mengalami dekompresi..
Perkusi pada anak memberi sensasi yang khas. Pada hydrocephalus akan terdengar suara yang sangat mirip dengan suara ketukan pada semangka  masak. Pada anak yang lebih tua akan terdengar suara kendi retak (cracked-pot). Hal demikian ini menggambarakan adanya pelebaran sutura.
Vena-vena di kulit kepala dapat terlihat sangat menonjol, terutama apabila si bayi menangis. Peningkatan tekanan intracranial akan mendesak darah vena dari alur normal di basis otak menuju ke kolateral dan saluran-saluran yang tidak mempunyai klep.
Mata penderita hydrocephalus memperlihatkan gambaran yang khas, yang disebut sebagai setting-sun sign.Sklera yang berwarna putih akan tampak di atas iris. Paralisis nervus abdusens yang sebenarnya tidak menunjukan lokasi lesi, sering dijumpai pada anak yang berumur lebih tua dan pada dewasa.
Kadang-kadang terlihat adanya nistagmus dan strabismus. Pada hydrocephalus yang sudah lanjut dapat terjadi edema papil atau atrofi papil. Tidak adanya pulsasi vena retina merupakan tanda awal hipertensi intracranial yang khas.
Dewasa  : 
Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri kepala. Sementara itu gangguan visus, gangguan morik berjalan, dan kejang terjadi pada 1/3 kasus hyderocephalus pada usia dewasa. Pemeriksaan neurologist pada umunya tidak menunjukan kelainan, kecuali adanya edema papil dan / atau paralisis nervus abdusens
G.   .Diagnosi_Banding                                                                                                               Pembesaran kepala dapat terjadi hydrocephalus, makrosefal, tumor otak, abses otak, granuloma intracranial, dan hematoma subdural. Hal-hal tersebut terutama dijumpai pada bayi dan anak-anak kurang dari 6 tahun.
H.       Diagnostik Test                                                                                                   
a. Diagnosis Fisis
Pengukuran lingkar kepala fronto-oksipital yang teratur pada bayi merupakan terpenting untuk menentukan diagosis dini. Pertumbuhan kepala normal cepat terjadi pada tiga bulan pertama. Lingkar kepala akan bertambah ± 2 cm setiap bulan. Pada tiga bulan berikutnya penambahan akan berlangsung lebih lambat.
Ukuran rata-rata lingkar kepala  :
                               
Umur   3 bulan                              :           41    cm
Umur   9 bulan                              :           46    cm
Umur 12 bulan                              :           47    cm
Umur 18 bulan                              :           48,5 cm




b. Foto Rontgen
Foto roentgen kepala polos lateral tampak kepala yang membesar dengan                      disproporsi kraniofasial, tulang yang menipis dan sutura yang melebar.
 c. CT Scan
     terlihat dilatasi seluruh sistem ventrikel otak.
d.  USG
Ini dapat dilakukan melalui yang tetap terbuka lebar, sehingga dapat ditentukan adanya pelebaran ventrikel, atau perdarahan dalam ventrikel.  
I.      Penatalaksanaan
a. Pencegahan
    Untuk mencegah timbulnya kelainan genetic perlu dilakukan penyuluhan genetic, penerangan keluarga berencana serta menghindari perkawinan antar keluarga dekat. Proses persalinan/kelahirandiusahakan dalam batas-batas fisiologik untuk menghindari trauma kepala bayi. Tindakan pembedahan Caesar suatu saat lebih dipilih dari pada menanggung resiko cedera kepala bayi sewaktu lahir.
b.Terapi Medikamentosa
Hydrocephalus dewngan progresivitas rendah dan tanpa obstruksi pada umumnya tidak memerlukan tindakan operasi. Dapat diberi asetazolamid dengan dosis 25 – 50 mg/kg BB. Pada keadaan akut dapat diberikan menitol. Diuretika dan kortikosteroid dapat diberikan meskipun hasilnya kurang memuaskan. Pembarian diamox atau furocemide juga dapat diberikan. Tanpa pengobatan “pada kasus didapat” dapat sembuh spontan ± 40 – 50 % kasus.
c. Pembedahan  :
    Tujuannya untuk memperbaiki tempat produksi LCS dengan tempat absorbsi. Misalnya Cysternostomy pada stenosis aquadustus. Dengan pembedahan juga dapat mengeluarkan LCS kedalam rongga cranial yang disebut  :
a.       Ventrikulo Peritorial Shunt
b.      Ventrikulo Adrial Shunt
      Untuk pemasangan shunt yang penting adalajh memberikan pengertian pada keluarga mengenai penyakit dan alat-alat yang harus disiapkan (misalnya : kateter “shunt” obat-obatan darah) yang biasanya membutuhkan biaya besar.
Pemasangan pintasan dilakukan untuk mengalirkan cairan serebrospinal dari ventrikel otak ke atrium kanan atau ke rongga peritoneum yaitu pi8ntasan ventrikuloatrial atau ventrikuloperitonial.
Pintasan terbuat dari bahan bahansilikon khusus, yang tidak menimbulkan raksi radang atau penolakan, sehingga dapat ditinggalkan di dalam yubuh untuk selamanya. Penyulit terjadi pada 40-50%, terutama berupa infeksi, obstruksi, atau dislokasi.

Pintasan ventrikel  :
Pintasan ventrikuloperitonial atau ventrikuloatrial, 1. ujuna yang masuk ventrikel serebrum,  2. reservoir, 3. ujung yang masuk peritoneum, 4. ujung yang masuk atrium jantung, 5. v.jugularis interna, 6. katup pad ujung pintasan.




ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN TRAUMA KAPITIS


     A.  Konsep Dasar
            Tengkorak kepala sebagai pelindung jaringan otak mempunyai daya elastisitas untuk mengatasi trauma bila dipukul atau terbentur benda tumpul. Namun pada tempat benturan beberapa milidetik akan terjadi depresi maksimal atau diikuti osilasi. Trauma pada kepala dapat menyebabkan fraktur pada tengkorak dan trauma jaringan lunak/otak atau kulit seperti kontusio/memar otak, edema otak, perdarahan atau laserasi dengan derajat yang bervariasi tergantung pada luasnya daerah trauma.
      B. Etiologi
                        Trauma kapitis paling sering dijumpai pada kecelakaan lalulintas (60%). Disamping itu dapat pula dijumpai pada kecelakaan yang terjadi sewaktu berolahraga, jatuh dari pohon, kejatuhan kelapa dll. Setiap trauma kapitis dapat menimbulkan kerusakan pada otak (brain damage), disamping itu dapat pula dijumpai luka pada kepala atau mungkin suatu factor kranii atau hanya luka memar saja.
                        Suatu fraktor kranii membuktikan bahwa trauma kapitis tersebut adalah trauma yang cukup berat, dan trauma yang bdemikian berat biasanya menimbulkan pula kerusakan pada otak, namun demikian tidak jarang kita lihat adanya kerusakan pada otak tanpa tanda-tanda adanya fraktur kranii pada foto rotgen.. Bila kepala itu terbentur pada jalan aspal misalnya maka gaya akselerasi deselerasi yang mencakup seluruh otak akan dapat menimbulkan kerusakan sel-sel neuron, perdarahan, laserasi serebri dan kontusio serebri pada otak.
                        Setiap trauma kapitis yang telah menimbulkan kesadaran menurun/koma, walaupun sangat singkat selalu/telah memberikan suatu kerusakan struktural pada otak. Kerusakan dapat beruipa kelainan yang reversible tetapi dapat pula menjadi kerusakan yang permanen misalnya sel-sel ganglion dalam nucleus vestibularis tampak berkurang.
                        Disamping kesadaran yang menurun, suatu trauma kapitis dapat pula menimbulkan amnesia yang terbagi dalam :
1.      Amnesia Retrograd ; yaitu amnesia tentang hal-hal yang terjadi beberapa saat sampai beberapa hari terjadi trauma kapitis.
2.      Amnesia pasca traumatic (PTA = Post Traumatik Amnesia) yaitu amnesia tentang hal-hal yang terjadi sesudah trauma kpitis.
Dari panjangnya PTA ini secara retrospektif kita dapat mengetahui tentang berat ringannya trauma kapitis tersebut. Walaupun penderita telah dapat bicara spontan namun ia tidak ingat bahwa waktu itu telah dilakukan pemeriksaan rotgen, Eeg dll. Selain dari pada itu penderita tidak ingat lagi siapa yang bertamu danb menengoknya pada waktu itu. Suatu trauma kapitis dapat menimbulkan kesadaran menurun tetapi apa yang menimbulkan kesadaran itu menurun sampai kini masih belum jelas.
Bila terjadi trauma kapitis maka dapat dibedakan atas :
1.      Trauma Kapitis tertutup
a. Komusio cerebri
    Adalah dimana sipenderita koma setelah mendapat trauma kapitis, mengalami kesadaran menurn sejenak (± dari 10 menit), kemudian dengan cepat siuman kembali tanpa mengalami suatu defisit neurologis.
b. Kontusio cerebri
    Terdapat perdarahan jaringan otak, timbul karena adanya ruptur di kapiler subtansia grisea dan subtansia alba. Kesadaran menurun (dapat sampai koma yang dalam), dapat berlangsung beberapa jam sampai berhari-hari,  bahkan sewaktu-waktu dapat berlangsung dalam beberapa minggu.
c. Edema cerebri
    Bila hal ini terjadi, maka :
    ¤ Penderita bertambah gawat.
    ¤ Kesadaran terus menurun, misalnya semula hanya samnolen menjadi koma misalnya
       semula skor 10 menjadi skor 4.
    ¤ Funduskopi terlihat papil bendung, keadaan ini mengkhawatirkan karena akan dapat
       menimbulkan inkaserasio inkus kedalam insisura tentorii atau tonsil serebelli
       kedalam foramen magnum.
    Bila penderita memperlihatkan kesadaran menurun terus, hendaknya   
    mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan :
      ¤ Hipoksia –hiperkapnoe
      ¤ Telah diberikan injeksi luminal, largati atau vitamin.
      ¤ Setelah tindakan pem,bedahan abdominal, tulang atau operasi lainnya.
d. Hematoma Epidural
      Adalah suatu haematom yang terjadi diantara duramater tulang, timbul karena telah
      terjadi sobekan pada arteri meningen media atau pada salah satu cabangnya dari
      artericarotis ekterna yang masuk dalam rongga tengkotak melalui foramen spinosum.  
      Sobekan dapat terjadi bila ada garis fraktur yang jalannya melintang dengan jalannya
      arteri meningen media.
e. Haematoma Subdural
    Timbul oleh karena adanya sobekan pad “Biridgins Veins”, dapat akau atau kronis.
    Diagnosis yang kronis tidak gampang dan gejalanya sangat menyerupai gejala tumor
    serebri serta terletak diantara duramater dan arachnoid yang dapat menyerap cairan
    sekitarnya, oleh karena itu simptomatologi sangat menyerupai gejala tumor serebri.
    Trauma kapitis ringan sehingga penderita tidak ingat kapan dan dimana kepalanya 
    terbentur, tidak menimbulkan kesadaran menurun. Diantaranya trauma kapitis danm
    timbulnya haematoma subdural terdapat jarak yang cukup panjang.
f. Haematoma Intraserebral
g. Fraktur Kranii
    Untuk mengetahui ada tidaknya fraktur kranii,sebaiknya dilakukan foto ronogen 
    kepala dan palpasi. 
      Fraktur Impresi ( fraktur depresi )
      Bagian yang patah menonjol kedalam rongga tengkorak, nampak pada foto kepala utamanya proyeksi tangensial pada tempat fraktur , tidak jarang ditemukan juga fraktur bentuk bintang (stellate fracture ). Dikemudian hari dapat menimbulkan epilepsy, apalagi bila menekan girus prensentralis, perlu reposisi ( oper ratif atau disedot vakum ) agr tulang kembali kedudukannya semula.
      Bila ada perlukaan kepala, sewaktu pembersihan luka sebaiknya diraba dasar luka ditutup.
      Fraktur Basis Cranii :
-          Fraktur fossa kranii media, tampak :
                              • Perdarahan liang telingan
                              • Lesi N. VII, VIII dan VI (atau N.IV III dan V)
                              • Mungkin otoroe(keluar liquor dari liang telinga)
-          Frakltur fossa kranii anterior, tampak :
      • Anosmi

      • Lesi N Optikus dekstra/sinistra atau keduanya
      • Mungkin Rinorhea (keluar liquor dari hidung)
2.      Trauma Kapitis Terbuka
Trauma Spirai :
Lesi spiral terutama servikal memerlukan tindakan penanganan ekstra karena transportasi dan pembuatan foto leher dapoat mencelakakan penderita, terutama lesi servikal atau misalnya akibat fraktur atau spordilostesis C1 – C2 – C3. Sebaiknya leher segera difiksasi sejak dijalan raya. Pembuatan foto sangat hati-hati atau ditunda dahulu dan dipasang kawat likasi atau traksi leher secepatrnya, jangan dilakukan funksi lumbal atau pemeriksaan kaku kuduk dan valsava. Umumnya tidak diperlukan obat khusus tetapi anti oedema dapat menolong. Lesi spiral lain yang sering adalah ovulsi radialis terutama dari regio fleksus brachialis yang sangat nyeri, secara dermatomal jelas dan dapat mengakibatkan paresis anggota badan terkait. Diagnosis ovulsi diperkuat oleh EEG, evaked potensial, mielografi dan MRI
      C. Patofisiologi
                        Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan oksigen. Jadi kekurangan aliran darah keotak tidak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.
                        Pada saraf otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolic anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan as. Laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini menyebabkan timbulnya metabolic asidiosis.
                        Dalam keadaan normal aliran darah serebral (CBF) adalah 50 – 60 ml/ menit /100gr jaringan otak yang merupakan 15% dari curah jantung (CO).

D. Penatalaksanaan

      Obat-Obatan :
1.      Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema cerbral, dosis sesuai debgan berat ringannya trauma.
2.      Therapi hiperventilasi (trauma kapitis berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3.      Pemberian analgetik.
4.      Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10%.
5.      Antibiotik yang mengandung barier darah otak (penicillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6.      Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa hany cairan infus dextrose 5%. Aminophusin, aminophel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 – 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
7.      Pada trauma berat. Karena pada hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan kesadaran dan cendrung terjadi retensi Na dan elektrolit maka hari-hari pertama (2 – 3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrose 5% 8 jam ke tiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui NGT (2500 – 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai urea N.


           

Rabu, 29 Juni 2011

ASKEP KLIEN DENGAN AMPUTASI

  1. PENGERTIAN
Amputasi berasal dari kata “amputare“ yang kurang lebih diartikan “pancung“. Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas.
Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan tekhnik lain atau manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi.

  1. ETIOLOGI / FAKTOR PREDISPOSISI
Tindakan amputasi dapat dilakukan pada kondisi :
1.      Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki
2.      Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki
3.      Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat
4.      Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya
5.      Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif
6.      Deformitas organ
7.      Trauma

  1. TIPE AMPUTASI
1.      Amputasi Terbuka
Dilakukan pada kondisi yang berat dimana pemotongan pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. Yang memerlukan tekhnik aseptik ketat dan revisi lanjut.
2.      Amputasi Tertutup
Dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan dimana dibuat skait kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5cm di bawah potongan otot dan tulang.
Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :
o   Amputasi selektif / rencana
Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penanganan yang baik serta terpantau secra terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir.
o   Amputasi akibat trauma
Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan. Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki kondisi umum klien.
o   Amputasi darurat
Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma dengan patah tulang multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.

  1. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan tergantung pada kondisi dasar perlunya amputasi dan digunakan untuk menentukan tingkat yang tepat untuk amputasi.
©      Foto ronsen : mengidentifikasi abnormalitas tulang
©      CT Skan : mengidentifikasi lesi neoplastik, osteomielitis, pembentukan hematoma.
©      Angiografi dan pemeriksaan aliran darah : mengevaluasi perubahan sirkulasi/perfusi jaringan dan membantu memperkirakan potensial penyembuhan jaringan setelah amputasi.
©      Ultrasound Doppler, flowmetri doppller laser : dilakukan untuk mengkaji dan mengukur aliran darah.
©      Tekanan O2 transkutaneus : memberi peta area perfusi paling besar dan paling kecil dalam keterlibatab ekstremitas.
©      Termografi : mengukur perbedaan suhu pada tungkai iskemik pada dua sisi dari jaringan kutaneus ke tengah tulang. Perbedaan yang rendah antara dua pembacaan, makin besar kesempatan untuk sembuh.
©      Pletismografi : mengukur TD segmental bawah terhadap ekstremitas bawah mengevaluasi aliran darah arterial.
©      LED : peninggian mengindikasikan respon inflamasi
©      Kultur luka : mengidentifikasi adanya infeksi dan organisme penyebab.
©      Biopsi : mengkonfirmasi diagnosa massa benigna/maligna.
©      Hitung darah lengkap/diferensial : peninggian dan ”perpindahan ke kiri” diduga proses infeksi.

  1. PENATALAKSANAAN
ü  Tingkat Amputasi
Amputasi dilakukan pada titik paling distal yang masih dapat mencapai penyembuhan dengan baik. Tempat amputasi ditentukan berdasar dua faktor : peredaran darah pada bagian itu dan kegunaan fungsional.
Tujuan pembedahan adalah mempertahankan sebanyak mungkin panjang ekstremitas konsisten dengan pembasmian proses penyakit. Mempertahankan lutut dan siku adalah pilihan yang diinginkan. Hampir pada semua tingkat amputasi dapat dipasangi protesis.
ü  Sisa Tungkai
·      Tujuan bedah utama adalah mencapai penyembuhan luka amputasi, menghasilkan sisa tungkai (puntung) yang tidak nyeri tekan dengan kulit yang sehat untuk penggunaan protesis.
·      Balutan Rigid Tertutup. Balutan Rigid Tertutup sering digunakan untuk mendapatkan kompresi yang merata, menyangga jaringan lunak, mengontrol nyeri, dan mencegah kontraktur.
·      Balutan lunak. Balutan lunak dengan atau tanpa kompresi dapat digunakan bila diperlukan inspeksi berkala puntung sesuai kebutuhan. Bidal imobilisasi dapat dibalutkan dengan balutan. Hematoma (luka) puntung dikontrol dengan alat drainase luka untuk meminimalkan infeksi.
·      Amputasi Bertahap. Amputasi bertahap bisa dilakukan bila ada gangren atau infeksi.

  1. KOMPLIKASI
Komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi, dan kerusakan kulit. Karena ada pembuluh darah besar yang dipotong, dapat terjadi perdarahan masif. Infeksi merupakan infeksi pada semua pembedahan; dengan peredaran darah buruk atau kontaminasi luka setelah amputasi traumatika, risiko infeksi meningkat. Penyembuhan luka yang buruk dan iritasi akibat protesis dapat menyebabkan kerusakan kulit.
  

BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

  1. PENGKAJIAN
  Aktivitas/Istirahat
Gejala : Keterbatasan aktual/antisipasi yang dimungkinkan oleh kondisi/amputasi
  Integritas Ego
Gejala        : Masalah tentang antisipasi perubahan pola hidup, situasi finansial, reaksi orang lain. Perasaan putus asa, tidak berdaya.
Tanda        : Ansietas, ketakutan, peka, marah, ketakutan, menarik diri, keceriaan semu.
  Seksualitas
Gejala        : Masalah tentang keintiman hubungan
  Interaksi sosial
Gejala        : Masalah sehubungan dengan penyakit/kondisi. Masalah tentang peran fungsi, reaksi orang lain

  1. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.      Nyeri b/d amputasi
2.      Resiko tinggi terhadap komplikasi b/d amputasi
3.      Resiko tinggi terhadap infeksi b/d ketidakadekuatan jaringan primer
4.      Gangguan mobilisasi b/d amputasi
5.      Gangguan citra diri b/d kehilangan bagian tubuh

  1. RENCANA KEPERAWATAN
  NDX 1
Tindakan :
1.      Catat lokasi dan intensitas nyeri. Selidiki perubahan karakteristik nyeri, contoh kebas, kesemutan.
R/ : Perubahan dapat mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
2.      Tinggikan bagian yang sakit dengan dengan meninggikan kaki tempat tidur.
R/ : Menurunkan kelelahan otot dan tekanan kulit/karingan.
3.      Berikan tindakan kenyamanan (contoh ubah posisi sering, pijatan punggung).
R/ : Meningkatkan relaksasi.
4.       
R/ :
5.      Beri analgesik.
R/ : Klien sering bingung membedakan nyeri insisi dengan nyeri panthom.

  NDX 2
Tindakan :
1.      Bantu latihan rentang gerak khusus untuk area yang sakit dan yang tak sakit mulai secara dini.
R/ : Mencegah kontraktur, perubahan bentuk, yang dapat terjadi dengan cepat dan dapat memperlambat penggunaan protesis.
2.      Dorong latihan aktif untuk paha atas dan lengan atas.
R/ : Meningkatakan kekuatan otot untuk pemindahan.
3.      Bantu tekhnik pemindahan dan penggunaan alat mobilitas.
R/ : Membantu perawatan diri dan kemandirian pasien.
4.      Bantu dengan ambulasi.
R/ : Menurunkan potensial untuk cedera.

  NDX 3
1.      Kaji/pertimbangan persiapan pasien dan pandangan terhadap amputasi.
R/ : Pasien yang memandang amputasi sebagai pemotongan hidup atau rekonstruksi akan menerima diri yang baru lebih cepat.
2.      Dorong ekspresi ketakutan, perasaan negatif, dan kehilangan bagian tubuh.
R/ : Ekspresi emosi membantu pasien mulai menerima kenyataan dan realitas hidup tanpa tungkai.
3.      Diskusikan persepsi pasien tentang diri dan hubungannya dengan perubahan dan bagaimana pasien melihat dirinya dalam pola/peran fungsi yang biasanya.
R/ : Membantu pemecahan masalah sehubungan dengan pola hidup sebelumnya.
4.      Dorong partisipasi dalam aktivitas sehari-hari.
R/ : Meningkatkan kemandirian dan meningkatkan harga diri.
5.      Berikan kunjungan oleh orang yang telah diamputasi, khusunya seseorang yang berhasil dalam rehabilitasi.
R/ : Dapat membagi pengalaman.

  NDX 4
Tindakan :
1.      Awasi tanda vital. Palpasi nadi perifer, perhatikan kekuatan dan kesamaan.
R/ : Indikator umum status sirkulasi dan keadekuatan perfusi.
2.      Lakukan pengkajian neurovaskuler periodik, contoh sensasi, gerakan, nadi, warna kulit dan suhu.
R/ : Edema jaringan pascaoperasi, pembentukan hematoma atau balutan terlalu ketat dapat mengganggu sirkulasi puntung, mengakibatkan nekrosis jaringan.
3.      Inspeksi alat balutan/drainese, perhatikan jumlah dan karakteristik balutan.
R/ : Kehilangan darah terus-menerus mengindikasikan kebutuhan untuk tambahan             penggatian cairan dan evaluasi untuk gangguan koagulasi.
4.      Berikan antikoagulan dosis rendah sesuai indikasi.
R/ : Berguna dalam mencegah pembentukan trombus.

  NDX 5
Tindakan :
1.      Awasi tanda vital.
R/ : Peningkatan suhu dapat menunjukkan terjadinya sepsis.
2.      Pertahankan tekhnik antiseptik bila mengganti balutan/merawat luka.
R/ : Meminimalkan kesempatan introduksi mikroorganisme.
3.      Inspeksi balutan dan luka, pethatikan karakteristik drainase.
R/ : Deteksi dini terjadinya infeksi dan mencegah komplikasi lebih serius .
4.      Tutup balutan dengan plastik bila menggunakan pispot.
R/ : Mencegah kontaminasi pada tungkai bawah.
5.      Berikan antibiotik sesuai indikasi.
R/ : Antibiotik spektrum luas dapat digunakan secara profilaksis 



Komentar dengan akun facebook

link

SEO Stats powered by MyPagerank.Net
Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net

 
Design by Alamsyah Aris | Bloggerized by Alamsyah design | Maros Indonesia